Amal Sejoli Niat
Pada seri hadis ini kita memulai pembahasan mengenai nilai amal seseorang.
Perbuatan seseorang akan ternilai atau tidak itu bergantung kepada niat awal yang ia tanamkan di hati, dalam segala urusan, termasuk aktivitas profesi kita sehari-hari. Seperti profesi dalam lingkungan pendidikan, menjadi kepala sekolah, guru, anggota OSIS, tenaga administrasi, tenaga kebersihan, keamanan, crew kantin, bahkan hingga juru parkir. Boleh lah kita simak penjelasan hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ :" إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوُله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ "رواه إماما المحدثين أبو عبدالله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بَرْدِزْبَهْ البخاري، وأبو الحسين مسلم بن الحجَّاج ين مسلم القشيري النيسابوري، في صحيحيهما اللَذين هما أصح الكتب المصنفة .
Dari Amūrul Mukminīn Abī Ḥafsh ‘Umar bin al-Khattāb RA, berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” Hadis ini telah diriwayatkan oleh dua perawi hadis, Abū Abdillah Muhammad bin Ismā’īl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah bin Bardizbah al-Bukhārī, dan Abu al-Ḥasan Muslim bin al-Hazzāz bin Muslim al-Qushairīy al-Naysābūrī. Hadis ini terdapat dalam kitab ṣaḥīḥ keduanya; kitab tervalid di antara semua kitab yang tercipta.
Para ulama terdahulu menguraikan hadis ini ketika memulai segala sesuatu. Sebab hadis ini memberikan awarnes bagi siapa saja yang akan melakukan aktivitas, ia harus menata hati dalam berniat, sehingga ikhlas menjalaninya, dan ikhlas merupakan ruh suatu amal perbuatan. Begitu urgent hadis ini, lebih dari 300 ribu para penghafal hadis telah meriwayatkannya; pendapat lain menyatakan 700 ribu orang.
Apa itu ’al-‘Amal’ lalu apa itu ‘al-Niat’. Bila melihat arti harfiah ‘al-‘Amal’ berasal dari bentuk plural dari kata ‘amal’, berarti harakat al-badan (gerakan tubuh). Ucapan dapat disebut juga al-‘Amal, lain halnya dengan gerakan hati atau ‘harakat al-Nafsi’ itu tidak disebut al-‘Amal. Sementara lafal al-Niat berarti menyengaja/bermaksud (kehendak hati). Dengan demikian, dalam pengertian literal sesungguhnya segala gerakan tubuh atau ucapan itu semua tergantung maksud tujuannya. Inilah perbedaan nilai suatu pekerjaan dan profesi yang dijalani. Seorang guru akan mendapat keberkahan ilmu jika dalam mengajarkan ilmunya, secara ikhlas demi ibadah. Seorang murid akan mendapat ilmu yang bermanfaat jika proses yang ditempuh semasa belajar diniatkan bertujuan menghilangkan kebodohan diri, demi kualitas dalam menggapai ridha Allah SWT. Sementara orang tua yang berkeringat basah, berpeluh dalam mencari rezeki, Allah SWT akan menilainya sebagai orang yang sedang beribadah jika ia berniat mencari rezeki untuk kebutuhan anaknya yang sedang mencari ilmu. Begitu pula mereka yang berprofesi sebagai petugas administrasi, kebersihan, keamanan, dan lain-lain, akan mendapat pahala profesinya tergantung niat yang ia tanamkan di dalam hati. Inilah keterkaitan hadis ini dengan hadis Nabi Muhammad SAW:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ
“Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” (H.R. Muslim)
Allah SWT tidak melihat bagaimana profesimu dalam mencari ridha-Nya. Seorang petugas kebersihan atau satpam akan lebih mulia jika rizki yang ia cari untuk berbakti kepada orang tuanya, atau demi mengurus kerabatnya di kampung yang butuh uluran rizki untuk menyambung hidup. Dibandingkan dengan mereka yang memiliki jabatan dan kedudukan tinggi namun harta yang dia dapatkan digunakan untuk kepentingan gaya hidup semata, berputar hanya urusan duniawi ketimbang ukhrawi. Kepuasannya tidak lepas dengan nafsu duniawi dan nafsu syahwat. Pencapaian harta, tahta, dan wanita (bagi laki-laki), pria (bagi wanita), menjadi tujuan utama maka dalam komunitas manusia, Nabi Muhammad SAW menilainya sebagai berikut: “Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” Maksudnya pencapainnya tidak bernilai pahala apa pun hanya bermanfaat ketika berada di dunia saja.
Niat bersemayam di dalam hati, maka niat tergantung pada iklim hati. Jika hatinya baik, menjadi baiklah niatnya, sebaliknya jika buruk maka buruklah niatnya. Ibarat tanaman berada di atas tanah subur, niscaya berbuah manis berkualitas, dan bermanfaat untuk makhluk lain. Namun tanaman jika berada di tanah tandus akan kering dan layu tidak menghasilkan apa pun tidak memberikan manfaat untuk kehidupan. Oleh karena itu, menjaga hati berarti merawat niat untuk terus memproduksi kebaikan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal daging (mudhghah) yang apabila daging itu baik, maka baiklah tubuh seluruhnya. Dan apabila ia rusak, maka akan rusaklah segala perbuatan dan aktivitasnya. (H.R Bukhari)
Inilah puncaknya kajian ini, bahwa hidup seseorang itu tergantung kepada penataan hati. Imam al-Ghazali, ulama spesialis hati, menyatakan dalam kitab monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin:
أما بعد فقد انكشف لأرباب القلوب ببصيرة الإيمان وأنوار القرآن أن لا وصول إلى السعادة إلا بالعلم والعبادة فالناس كلهم هلكى إلا العالمون والعالمون كلهم هلكى إلا العاملون والعاملون كلهم هلكى إلا المخلصون والمخلصون على خطر عظيم فالعمل بغير نية عناء والنية بغير إخلاص رياء وهو للنفاق كفاء ومع العصيان سواء والإخلاص من غير صدق وتحقيق هباء.
Setelah itu:
Allah telah mewahyukan kepada orang-orang yang memiliki hati, melalui wawasan keimanan dan cahaya Al-Qur'an, bahwa tidak ada jalan menuju kebahagiaan kecuali melalui ilmu dan ibadah. Semua orang akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berilmu akan binasa kecuali yang mengamalkan. Semua yang mengamalkan akan celaka kecuali orang yang ikhlas, dan orang yang ikhlas berada dalam bahaya besar. Karena bekerja tanpa niat adalah kepayahan (percuma), niat tanpa keikhlasan adalah riya yang sama dengan kemunafikan dan kemaksiatan, dan keikhlasan tanpa pembenaran dan keyakinan adalah (bagaikan) debu.
Menurut Imam al-Ghazali hati sumber utama pikiran dan lebih mempengaruhi pola hidup seseorang. Pemikiran Imam al-Ghazali, lebih mendasar daripada pemikiran seorang filsuf besar Tiongkok, Lao Tzu (lahir 571 SM), yang menyatakan:
- Jagalah pikiranmu, karena itu akan mempengaruhi perkataanmu.
- Jagalah perkataanmu, karena itu akan menentukan perbuatanmu.
- Jagalah perbuatanmu, karena itu akan membentuk kebiasaanmu.
- Jagalah kebiasaanmu, karena itu akan membentuk karaktermu.
- Jaga karaktermu, karena karakterlah yang menentukan nasibmu.
Pemikiran Imam al-Ghazali dikembangkan dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud (1856 s.d 1939 M), seorang ahli psikilogi berkebangsaan Yahudi, Dia menganalisis psikologis manusia, bahwa tingkah laku manusia justru didominasi oleh alam bawah sadar yang berisi id, ego, dan super ego. Id adalah Id adalah bagian kepribadian yang diwariskan; ego adalah siapa anda, atau diri Anda; dan superego diatur oleh moral dan pedoman masyarakat. Mudahnya Id adalah hati nurani, naluri bawah sadar, ego adalah perilaku yang muncul, sedangkan superego adalah lingkungan.
Demikian pentingya hati dalam menjaga kewarasan niat yang berpengaruh kepada tingkah dan pola kerja kita sehari-hari. Semoga dalam menjalankan profesi apa pun kita semua ikhlas menjalaninya, insya Allah akan ternilai besar di mata Allah SWT meskipun kecil di mata manusia.
Referensi:
- Ibnu Ḥajar al-Haitamī, Fatḥ al-Mubīn bi Sharaḥ al-Arbaīn al-Nawāwī, (Beirut: Dār al-Minhāj, Cet. 2, 2009), h. 119.
- Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-din, Vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma’rifah, tt), h. 362
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2008)
- Muslim bin al-Hazzāz bin Muslim al-Qushairīy al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Kutub al-‘Ilmiyah, 2010).
- Biografi Lao Tzu diakses dari https://www.worldhistory.org/L...
- Sigmund Freud, The Ego and Id, 1932, Vol. XIX. Retrieved from https://www.sas.upenn.edu/~cav...